"* CERITA DARI GANE *"
MENDENGAR nama Gane sepertinya saya rindu, sekaligus ikut marah-marah. Rindu Gane yang sejahtera, rindu Gane yang adil. Tapi kalau mau cerita, saya lebih marah, tentunya. Marah karena Gane tak pernah dirindukan oleh para tuan yang berjas-jas elit. Marah karena Gane jarang ditengok oleh saudara-saudaranya yang bernama ‘Wakil Rakyat’. Sudahkah kita membaca berita akhir-akhir ini? Ataukah sudah sesering mengikuti cerita Gane dari tahun ke tahun?
Seperti diketahui, Gane adalah sebuah wilayah yang terdapat di Kabupaten Halmahera Selatan. Di sana, tumbuhan-tumbuhan yang subur pernah hidup dan menghidupi masyarakatnya. Ada juga, pepohonan yang rindang, semacam pala, cengkeh hingga sagu hendak kita temui disetiap ruas-ruas desa. Apalagi kalau ikan-ikan, sungai yang tenang, udang yang enak, tentunya mudah dijumpai bagi kita yang suka melancong ke pesisir-pesisir pulau. Siapa yang tidak suka hidup di negeri itu? Kekayaannya merajai seantero Gane. Sumberdayanya menggiurkan, sekaligus menjanjikan masa depan. Tapi, sepertinya potret indah itu hanyalah sebuah klise bagi kita dan Gane.
Gane kini penuh ancaman. Gane sekarang teramat sedih. Bukan karena kita dan masyarakatnya yang tak tahu menjadikannya tanah ekonomi bagi masa depan anak-cucu, melainkan Gane kini telah di interupsi oleh sejumlah persoalan yang sangat tragis. Boleh dibilang tragis, sebab di sana sudah diwarnai polemik, sudah ditiadakan falsafah kemanusiaan. Masyarakatnya dibiarkan hidup seperti berusaha memungut masa depannya secara paksa, dan terpaksa. Iya, atas nama kemanusiaan Gane bergelimang air mata rindu yang tak habis-habisnya. Tanah yang di atasnya telah dihiasi tanaman bernilai ekonomi—kini dalam hitungan waktu hendak tiada lagi dinikmati. Tanahnya, masa depannya dan sumberdaya sosialnya hancur lebur hanya sebuah sebab yang bernama ‘kelapa sawit.’
Gane indah yang kita kenal, perlahan mulai luput dari tatapan kita. Di sana, perusahaan-perusahaan mulai bergerak. Para tuan perusahaan membawa program perkebunan kelapa sawit untuk wilayah Gane. Tuan-tuan itu bermodal selembar kertas yang berisi tanda-tangan dari pejabat birokrasi. Karena merasa legal, para tuan perusahaan se-enaknya saja melakukan penetapan kepemilikan tanah tanpa melakukan proses tabea di masyarakat.
Gusur-menggusur perlahan dilaksanakan. Caplok-mencaplok memang lazim dikerjakan. Namanya saja perusahaan perkebunan kelapa sawit. Tentu sagu digusur, tentu pala ditiadakan, tentu cengkeh dimusnahkan. Apalagi rica dan tomat. Habis, rata dengan tanah. Kalau memang perusahaan datang dan bilang ‘permisi’ pada masyarakat, rasanya tak ada polemik yang kita dengar sekarang. Namun begitulah, apa yang dibilang petuah memang ada benarnya. Sesuatu yang baik itu akan kembali mengadili yang kurang baik. Lihat di sana, masyarakat tetap menolak kedatangan perusahaan. Masyarakat tak mau masa depannya direnggut atau digantung-gantung.
Jadi, teramat sedih mengurai kegalauan masyarakat. Mereka (masyarakat) kalau boleh jujur, tiap saat menangisi ulah pejabat kita. “Ade, kenapa pemerintah deng torang pe wakil rakyat tarbisa ambe kebijakan tentang masalah ini, padahal torang pe sengsara bagini kong tarada yang bisa kase selesaikan tu,” ucap seorang masyarakat pada teman saya, saat masih bersama di Bacan. Tangis pecah, rindu menggema di seantero Gane, tapi kenyataannya kita dan masyarakat di sana seperti terpenggal-penggal mencari keadilan.
Kalau sudah begini, cerita-cerita masyarakat itu sepertinya hanya terus ditangisi di atas para-para, di atas alas daun kelapa kering, di bawah katu tua yang hitungan bulan bisa lebur. Lalu, bagaimana dengan Pak Bupati kita, Gubernur kita dan semua tetek-bengek pemerintahan yang setiap waktu masih bisa menikmati kasur-kasur hangat, kamar-kamar elit, makanan-makanan lezat yang tak selezat sagu, gohu dan ikan ngafi. Sudahlah, pak pejabat yang berada di seberang dan di mana saja, semoga koran ini bisa kalian baca ketika segelas kopi dan teh pagi sedang kalian teguk. Menyandarlah sejenak, rebahkan tubuh dan kepala sembari ingat; bahwa Gane benar-benar merindukan perubahan yang tak menyusahkan masayarakatnya.
Akhirnya, saya percaya, bahwa kita tentu bersepakat dengan Conficus, seorang filsuf yang pernah mengatakan; “Aku dengar lalu aku lupa, aku lihat lalu aku lupa, aku lakukan lalu aku ingat.” Muda-mudahan bapak pejabat tak kebanyakan lupa setelah membaca cerita ini—ada baiknya lakukanlah—tentukan kebijakan yang membahagiakan masayarakat, sebab dari situlah cerita Gane tak sekedar kumpulan kalimat-kalimat melainkan sebuah penyegaran bagi bapak yang sering lupa. Jika memang berani mengambil kebijakan yang menyenangkan hati masyarakat, maka percayalah di suatu hari nanti hendak teringat: bapak pernah lakukan sebuah pekerjaan besar untuk mereka yang kecil. [*]
Oleh : Rajif Duchlun
Komentar
Posting Komentar